FOLLOW

Wednesday 14 December 2016

thumbnail

Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

IDENTITAS
Nama                   : M RIDZKI HASIBUAN
Nim                      : 71153008
Prodi/Sem             : Ilmu Komputer-1 / III
Fakultas                : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi  : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Mata Kuliah          : Akhlak Tasawuf  
Tema                     : Biografi Sufi Hamzah Fansuri
Buku                     : Akhlak Tasawuf
Identitas Buku      : Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar,Akhlak Tasawuf : Pengenalan,Pemahaman,dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi  Tokoh-tokoh Sufi (Jakarta : Rajawali,2015)








     Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

     Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya.
      Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
Konsep Ajaran Rabi’ah al Adawiyah
Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian:
1. Mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
2. Mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
3. Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
4. Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.
Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).



 -Karya - karya Rabi’ah Al-Adawiyah  
Syair Rabi'ah Al Adawiyah

1.      Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mua
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu

2.      Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku

3.      Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku

4.      Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki

5.      Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu

6.      Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau

7.      Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu

8.      Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”

9.      Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia

1.  Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.  

Wednesday 16 November 2016

thumbnail

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS



IDENTITAS
Nama : M Ridzki Hasibuan
NIM : 71153008
Prodi/Sem : Ilmu Komputer-1 / III
Fakultas : Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi : UIN Sumatera Utara
Dosen Pengampu : Dr. Ja’far, MA
Matakuliah : Akhlak Tasawuf

TEMA : INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

BUKU
 Identitas Buku :
1.Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum sufi
(Medan: Perdana Publishing, 2016)

Sub 1 : Integrasi Dalam Sejarah Islam
Sub 2 : Integrasi Dalam Ranah Ontologi
Sub 3 : Integrasi Dalam Ranah Epistemologi
Sub 4 : Integrasi Dalam Ranah Aksiologi

1.      Integrasi dalam Sejarah Islam
      Dalam sejarah intelektual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan canggih. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yanng mempuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadist, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufitis, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius dan spiritual.(Ja’far, 2016:102)
Para filsuf dari mazhab peripatetik merupakan pemikiran Mmuslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumberkan kepada Alquran dan Hadist, lantaran tema-tema filsafat Yunani diIslamisasikan dan disesuaikan dengan pradigma islam.(Ja’far,2016:102)

2.      Integrasi dalam Ranah Ontologi

Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa latin disebut ontologia, sehingga ontologia bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpilkan bahwa ontologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dari istilah ontologi ditujukan pada pembahasan tentang objek kajian ilmu. (Ja’far, 2016:105)
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dari sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240), alam diciptakan Allah Swt. Melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. Mengambil dua bentuk: Tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. (Ja’far, 2016:106)

3.      Integrasi dalam Ranah Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme yang maknanya pengetahuan, dan logos yang maknanya ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi  berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. (Ja’far, 2016: 107-108)
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan tasawuf mengandalkan metode irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. (Ja’far, 2016:108)
Ibn Arabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap dilakuakan oleh kaum sufi, seperti zkir dan shalat untuk mendapatkan ilmu menegnai banyak hal, terutama pemahaman terhadap dunia fisik dan non-fisik. (Ja’far, 2016:109)

4.      Integrasi dalam Ranah Aksiologi

Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang bermakna teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria, dan dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasii nilai, serta dasar dan karakter pertimbangan nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. (Ja’far, 2016: 110)
Suriasumantri menyimpulkan bahwa aksiologi aebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang kegunaan dan penggunaan ilmu. Jadi, aksiologi membahas tentang nilai  kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu.(Ja’far, 2016:110)


KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan pendidikan memiliki dua misi utama yaitu pembinaan daya intelektual dan pembinaan daya moral, Mensinergikan sains dan Islam (Agama) merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan keharusan, karena dengan mengabaikan nilai-nilai Agama dalam perkembangan sains dan tekhnologi akan melahirkan dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada orde sosial-kemanusiaan, tetapi juga pada orde alam semesta ini.


RELEVANSI
Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf ini,maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.

Wednesday 9 November 2016

thumbnail

AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL

Identitas

Nama                          : M Ridzki Hasibuan
NIM                              : 71153008
Prodi/Sem                 : Ilmu Komputer / III
Fakultas                      : Sains dan Teknologi (SAINTEK)
Perguruan Tinggi    : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Dosen Pengampu  : Dr. Ja’far MA
Mata Kuliah              : Akhlak Tasawuf

TEMA                        : Al-Maqamat dan Al-Ahwal
            
BUKU
Identitas Buku           :
1.      Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum sufi(Medan: Perdana Publishing, 2016)


Sub 1  :   Definisi
Sub 2  :   Pondasi al-Maqamat
Sub 3  :   Hierarki al-Maqamat
Sub 4  :   Al-Maqam Lainnya
Sub 5  :   Mengenal Al-Ahwal

1.      Defenisi
            Karya-karya para sufi telah menunjukkan bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu dirancang sebagai media informasi bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. sehingga para penempuh jalan tasawuf (al-murid/al-salik) akan dapat meraih kemantapan tauhid dan makriat. Sebab itu para sufi menyusun teori mengenai usaha-usaha untuk menempuh perjalanan spiritual (thariqah) berupa tangga-tangga pendakian spiritual yang disebut al-muqamah.
Abu al-Najib al-Suhrawardi dan al-Qusyairi memberikan penjelasan mengenai al-maqamat dan al-ahwal. Dalam Adah al-Muridin, Abu al-Najib al-Suhrawardi, al-maqamat adalah tingkatan spiritual seorang hamba dalam ibadah di hadapan Allah Swt. Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat  adalah tingkatan spriritual yang akan diraih salik dengan jalan mujadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadah.
Dengan demikian, al-maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt., yang di peroleh salik secara mandiri melalui pelaksanaan ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus. Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil usahanya secara mandiri, melainkan pemberian al-maqamat dan al-ahwal dalam karya-karya mereka.
Berdasarkan teori tersebut, seorang sufi merumuskan konsep perjalanan spiritual dari diri manusia menuju kedekatan bersama Allah Swt.(sebagai makna dari gerak menaik wujud[jiwa]) dengan terlebih dahulu mendeskripsikan proses kemunculan manusia dari hakikat wujud (sebagai makna dari gerak menurut wujud). Inilah makna dari pernyataan agama bahwa manusia berasal dari Allah (gerak menurun jiwa dari alam tertinggi[Tuhan] menuju alam terendah [jasad]). Dan akan kembali kepada-Nya (gerak menaik jiwa dari alam terendah[jasad] menuju ke hadirat Allah Swt. sebagai realitas tertinggi dan sumber asalnya).


2.      Pondasi al-Maqamat
Dalam memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah, seorang salik harus melakukan khalwah dan uzla dalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju Allah Swt.
Khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia menuju Allah Swt. Sedangkan hakikat uzla (mengasingkan diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk orang lain. Nashral al-Din al-Thusi mengungka[kan bahwa mengasingkan diri akan dapat mengarahkan salik meraih pancaran dari Allah Swt selama berkhalwat, salik harus berusaha membebaskan diri dari seluruh gangguan indrawi, gangguan batin dan mendisiplinkan aspek-aspek hewani dalam dirinya sehingga ia tidak mengikuti kecenderungan kepada berbagai aspek tersebut.
Dalam khalwah dan uzla, seorang salik harus menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadah. Menurut al-Qusyairi, ibadah atau ubudiyah adalah “melaksanakan segala apa yang diperintahkan, dan menjauhi segala yang dilarang” salah satu yang menjadi andalan seorang salik adalah zikir.

3.      Hierarki al-Maqamat
Dalam karya-karya tasawuf karangan sufi dari mazhab Sunni, akan dapat dilihat dari ragam rumusan mengenai al-maqamat sebagai tingkatan yang harus diraih seorang salik secara mandiri dengan melakukan berbagai al-ibadah, al-mujahadah, dan al-riyadat, mulai dari maqam pertama sampai pada maqam paling puncak. Abi Nashr Abd Allah ibn Ali al-Sarraj al-Thusi menyusun dari maqam pertama sampai maqam paling puncak, yang dimulai dari : Tobat (al-taubah), Warak (wara’), Zuhud (al-zuhd), kefakiran (al-faqr), Sabar (al-shabr), cinta (al-mahabbah), rida (al-ridha)

4.      Al-Maqam Lainnya
Sebagian para sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifah) dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt. dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt. dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan.
Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abu Yazid al-Bistami memiliki ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra. Ketiga teori ini memang mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog Sunni, tetapi diterima oleh mayoritas fukana Syiah.

5.      Mengenal Al-Ahwal
Sebagai konsekuensi dari peroleham muqamat yang bersifat konstan, seorang sufi akan mengalami     ahwal, yaitu kondisi spiritual yang menyelimuti qalb, bersifat spontan, dan tidak langgeng. Ahwal merupakan ekspresi ketulusan seorang sufi dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak dapat diraih melalui jalan ibadah, riyadlah, ataupun mujahadah. Kehadiran Ahwal semata-mata karena karunia Allah swt. Diantara Ahwal itu adalah : al-muraqabah, (visi), al-qurb (kedekatan), al-mahabbah (kecintaan), al-khawf (segan), ar-raja (optimistis), asy-syawq (kerinduan), al-uns (harmoni),  al-musyahadah (persaksian), dan Al-yaqin (keteguhan). Ahwal yang menyelimuti para salik (pelaku jalan tasawuf) pada dasarnya merupakan proses revolusi kalbu yang mengandung dua substansi :
Pertama, takhalli, yaitu upaya membersihkan jiwa kita dari sifat-sifat basyariyah (kelezatan, kemanfaatan, nafsu, dan hasrat, serta kekuatan dan kelemahan. Upaya ini menyentuh aspek lahiriyah dan jasmani kemanusiaan (al-basyar). Pada tahap ini terkadang seorang  salik mengalami kondisi Raja (optimistis) atau sebaliknya, khawf (segan). Dalam proses takhalli ini, seorang memasuki maqam taubat, wara, dan juhud.
Kedua,  tahalli yaitu,  upaya menghiasi diri dengan sifat-sifat insaniyah. Ini menyentuh aspek spiritual dan ruhani kemanusiaan seseorang (al-insan). Pada fase ini, seorang salik dapat mengalami kondisi gha’ibah (fana) atau sebaliknya, hudlur (kehadiran), dalam proses tahali ini seorang sufi akan mencapai maqam faqr, shabr (sabar), tawakal, dan ridla atau syukur.


Kesimpulan
            Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat  adalah tingkatan spriritual yang akan diraih salik dengan jalan mujadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadah. Dengan demikian, al-maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt., yang di peroleh salik secara mandiri melalui pelaksanaan ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus. Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil usahanya secara mandiri, melainkan pemberian al-maqamat dan al-ahwal dalam karya-karya mereka. Beberapa contoh dari al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf (takut), al-raja’ , dan al-syawq (rindu).



Relevansi
            Sebagai seorang programmer harus bisa mengamalkan adab dan perilaku serta riyadah dari tingkatan mendasar sampai tingkatan paling tinggi.
            Seorang programmer harus menjadikan zikir sebagai andalan sebagaimana yang dilakukan seorang salik. Selalu menjadikan dirinya sebagai orang yang bertaqwa dan bertawakal.

Wednesday 2 November 2016

thumbnail

EPISTEMOLOGI TASAWUF

Identitas

Nama                          : M Ridzki Hasibuan
NIM                              : 71153008
Prodi/Sem                 : Ilmu Komputer / III
Fakultas                      : Sains dan Teknologi (SAINTEK)
Perguruan Tinggi    : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Dosen Pengampu  : Dr. Ja’far MA
Mata Kuliah              : Akhlak Tasawuf

Tema                           : Peran Hati dalam Tasawuf , Metode Tazkiyah Al-Nafs
Buku                            : Gerbang Tasawuf
Identitas Buku             : Ja’far, Gerbang Tasawuf, Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi
                                     ( Medan : Perdana Publishing, 2016 )
Sub I                             :  Peran Hati dalam Tasawuf

Sub II                            :  Metode Tazakiyah al-Nafs





EPISTEMOLOGI TASAWUF
A.     Peran Hati dalam Tasawuf
Hati ditempatkan sebagai salah satu sarana mencari ilmu. Istilah hati sering kita lihat dan kita dengar didalam alqur'an dan hadist dengan berbagai bentuk, kata qolbun sebanyak 6 kali, kata qulub sebanyak 21 kali, kata al-fu'ad sebanyak 3 kali, kata fu'aduka sebanyak 2 kali, kata af'idah sebanyak 8 kali, dan kata af-idatuhum sebanyak 3 kali.Selain itu juga dikenal istilah bashirah yang berarti hati nurani, disebutkan dalam alqur'an sebanyak 2 kali. (ja'far;2016.hal34)
Hati (qolb) merupakan jiwa manusia.Menurut Ahmad Mubarok dari segi fungsi hati sebagai alat untuk memahami realitas dana nilai-nilai serta memutuskan suatu tindakan (Q.S. al-Araf/7;179),sehingga hati (qolb) menjadi identik dengan akal.Sedangkan potensi hati ada 8 menurut  Ahmad Mubarok,yaitu : hati bisa berpaling; merasa kecewa dan kesal; secara sengaja memutuskan untuk melakukan sesuatu;berprasangka; menolak sesuatu; mengingkari; dapat diuji; dapat ditundukan; dapat diperluas dan dipersempit; bahkan bisa ditutup.Sedangkan hati manusia bermacam-macam,sebagian bersifat positif dan sebagian bersifat negatif. (ja'far;2016.hal 34-35).
Dalam hadist Nabi Muhammad yang artinya ; dan ketahuilah bahwa sesunggauhnya didalam tubuh terdapat segumpal daging, jika kondisnya baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika rusak, maka rusaklah seluruh badan. yaitu dia adalah hati. (ja'far;2016.hal 36)
Menurut Al-Ghazali hati akan menjadi suci ketika kita hiasi oleh sifat-sifat Ilahiah, sebagai cahaya iman,sehingga hati seseorang menjadi cermin yang bercahaya terang, sehingga dapat memperoleh kebenaran, dan bertemu dengan allah. Sebaliknya,ketika hati seseorang kotor akibat maksiat, maka hati akan menjadi hitam dan akibatnya akan susah melakukan perbuatan kebaikan contohnya mendirikan sholat 5 waktu. (ja'far;2016. hal;37).
Perbedaan akal dan qolbu yaitu akal tidak bisa memperoleh pengetahuan hakikat tentang tuhan, sedangkan qolbu bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. (Ust.Drs.Moh.Saifulloh Al-Aziz S; hal: 102 )


B.     METODE TAZKIYAH AL-NAFS
Kaum sufi meyakini bahwa akal manusia masih memiliki kelemahan, meskipun relatif sukses memberikan gambaran rasional terhadap dunia spiritual(Ja’far,2016,39). Metode irfani merupakan metode kaum sufi dalam Islam yang mengandalkan aktivitas penyucian jiwa(tazkiyah al-nafs) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan menilai bahwa ilmu hakiki hanya diraih dengan cara mendekatkan diri kepada sosok yang Maha Mengetahui (al-Alim), bukan dengan metode observasi dan eksperimen atau juga metode rasional. Diantara kaum sufi terkemuka yang memiliki keyakinan tersebut adalah al-Ghazali, Ibn Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shardra. Meskipun meyakini keunggulan metode irfani dari pada metode ilmiyah lainnya, keempat sufi tersebut memiliki sejumlah perbedaan mengenai metode tersebut.(Ja’far,2016,40).
Mahzab tasawuf menurut al-Ghazali, dapat diwujudkan secara sempurna hanya melalui ilmu dan amal. Karya-karya para sufi menegaskan manusia terdiri atas badan dan jiwa (qalb). Baik badan maupun jiwa dapat menjadi sehat dan bahagia mana kala kebutuhan keduanya dapat dipenuhi secara benar, dan menjadi sakit manakala kebutuhan keduanya tidak dipenuhi, sebab itulah, para sufi mengerjakan tentang usaha pemenuhan keutuhan jiwa demi menghindaari kehancurannya. Menurut al-Ghazali, jiwa dan hati manusia menjadi rusak dan hancur jika manusia bersifat eteis (menolak dan tidak mengenal Allah Swt) dan mengikuti hawa nafsu, sedangkan hati menjadi sehat manakala mengenal Allah, mengikuti ajaran para nabi sebagai pembawa ajaran agama, dan senantiasa melaksanakan ibadah secara mantap sehingga mencapai derajat qalbun salim. Sebagai mana ditegaskan bahwa tasawuf tidak hanya sekedar ilmu, melainkan agama, sehingga dasar pijakan kaum sufi adalah mengamalkan ajaran kaum sufi dengan uzlah, khalwa, riyadhah, mujahadah, ibadah, dan zikr  sebagai sarana paling tepat untuk menyucikan jiwa. Kaum sufi yang terbagi dalam berbagai mazhab tasawuf telah merumuskan beragam model ajaran tasawuf dalam rangkai mencapai tujuan utama dalam mazhab tasawuf.(Ja’far,2016,42).

Ibn  al-Qayyin al-Jauziyah menyebut ilmu yang diraih kaum sufi sebagai ilm laduniyun, yakni ilmu yang diisyaratkan ilmu yang diperoleh seorang hamba tanpa menggunakan sarana, tetapi berdasarkan ilham dari Allah, dan diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya. Ilmu ladunni merupakan buah dari ibadah, serta kepatuhan dan kebersamaan dengan Allah, dan dicari dari keputusan kepada Rasul-Nya. Ilmu ladunni terdiri atas dua macam : dari sisi Allah dan dari sisi setan. Suhrawardi dan Mulla Shadra menyebut bahwa ilmu ladunni sebagai ilm al-hushul, sebagai lawan dari ilm al-hushul harus diusahakan oleh manusia, sedangkan ilm al-hushul diraih tanpa usaha dan merupakan pemberian langsung dari Allah Swt(Ja’far,2016,43).

Kesimpulan :
      Hati yang diciptakan Allah Swt sejatinya digunakan sebaik – baiknya, seperti sebagai sarana mencaari ilmu. Jika hati yang suci, bersih, dan damai maka ilmu akan lebih mudah untuk didapat, terutama ilmu yang langsung dari Allah Swt.
      Hati yang selalu senantiasa ingat atau berzikir pada Allah Swt maka Allah akan senantiasa bersamanya, baik itu berpengaruh pada pikiran, jasmani, prilaku, dan lainnya. Sebaliknya jika hati yang jarang berzikir kepada Allah Swt apalagi manusia tersebut senantiasa mengotori hatinya sendiri dengan prilaku, perkataan dan lainnya maka ia akan jauh dari Allah Swt dan sulit berpikir jernih.
      Metode  tazkiyah  al-nafs yang diakui oleh Alquran, yakni selalu melakukan pensucian hati dan dirinya dan selalu senantiasa mendekatkan diri pada Allah Swt.

Relevansi :
1.      Sebagai seorang programmer yang benar, ia harus memahami epistemologi tasawuf agar apa yang di perbuatnya senantiasa karena Allah Swt
2.      Seorang programmer senantiasa membersihkan hati dengan selalu berzikir kepada Allah Swt agar program yang dikerjakan mendapat berkah dan di ridhai Allah Swt
3.      Seorang programmer harus meluruskan niatnya dalam membangun sebuah program hanya untuk dijalan Allah Swt, membangun program mengutamakan kemajuan agama, baik untuk syiar, dakwah, ataupun mempermudah ummat dalam bersilaturrahmi
4.      Seorang programmer menerapkan Metode  tazkiyah  al-nafs agar hatinya selalu terpelihara
5.      Seorang programmer yang sufistik sangat mungkin mendapat ilmu langsung dari Allah Swt dikarenakan kesucian hatinya, sehingga hasil karya program menjadi luar biasa dikarenakan program tersebut bermanfaat bagi orang lain dijalan yang benar

Pemahaman :
            Seseorang yang memiliki sifat sufistik yang senantiasa menyucikan diri dan hati dengan cara bertaqwa kepada Allah Swt. Apabila seseorang suci hatinya maka keeluruhannya akan baik seperti berakhlakul karimah, dan itu pasti akan terpancar dari dirinya. Sebaliknya jika hati yang kotor dan jauh dari Allah Swt maka keseluruhannya akan buruk 

About

Anda Pengunjung Ke-

The Coker. Powered by Blogger.

Followers